6/27/2008

49*ELITE DAN RUANG PUBLIK

10 Mei 2008

Elit dan Ruang Publik
Oleh Agung Y Achmad


PREDIKSI mengenai rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilgub Jateng, yang akan digelar 22 Juni mendatang, pantas dicermati. Gejala ini telah dimulai pada penyelenggaraan pilkada di Kudus dan Pati, yang masing-masing hanya diikuti 53 persen dan 47 persen warga yang memiliki hak pilih (Suara Merdeka, 24 April 2008). Mengapa hal itu terjadi? Beragam jawaban bisa diberikan. Tetapi yang cukup valid adalah sikap putus asa masyarakat terhadap tingkah laku para elite. Rakyat merasa berbagai harapan manis terhadap sistem demokrasi pupus bersamaan dengan munculnya ’’pesta’’ (korupsi, nepotisme dan kolusi) di tingkat elite. Untuk apa memilih pemimpin baru jika pada akhirnya para elit tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik. Demikian kira-kira suara-suara dari akar rumput.

Dus, inilah saatnya bagi elite untuk merendah, mengerti, dan berempati kepada pemilik hakiki kekuasaan, yakni rakyat. Berikan ruang lebih luas kepada rakyat untuk mengambil peranan, sehingga mereka dengan suka rela berpartisipasi di dalam proses politik. Dalam wacana demokrasi, hal ini disebut sebagai ruang publik (public sphere). Sikap-sikap etis elite ini harus tercermin pada proses komunikasi politik para kandidat selama kampanye, kelak. Komunikasi BurukSeperti sering kita saksikan, para kandidat kepala daerah sering berorasi mengobral janji manis di depan massa pendukungnya saat kampanye. Di pasar-pasar, misalnya, banyak aksi yang mereka lakukan. Boleh jadi, hal itu merupakan pengalaman pertama kali mereka sepanjang hidupnya, seperti menggendong dan menciumi anak kecil, atau aksi beli cabe dan aneka barang lainnya. Semua ini sekadar meyakinkan bahwa ia adalah kandidat yang dekat dengan pedagang kecil (baca: rakyat). Benarkah? Apakah itu tak lebih dari sekadar tebar pesona?

Kunjungan seorang politisi ke pasar sebagai ajang kampanye tentu saja bagus. Acara ’’merakyat’’ seperti itu akan lebih substansif apabila sang kandidat memiliki argumen yang benar mengenai mengapa harga cabe keriting per kilogram jatuh pada nominal tertentu. Ia juga tahu berapa besar upah yang diterima kuli, buruh pasar, atau petani sayur. Ia tahu nasib pedagang akibat kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini, dan seterusnya. Jadi, bukan sekadar tahu daftar harga barang (karena sebelumnya sudah dihafalkan!).

Para elite selama ini tidak cukup peka dan cerdas memanfaatkan kesempatan bertemu dengan akar rumput. Ketidakpekaan itu tercermin dalam melakukan komunikasi nonverbalnya. Sebut saja ketidaktepatan dalam pemilihan kostum yang dikenakannya. Dengan gaya ’’pede’’, para kandidat datang ke pasar-pasar tradisional dengan mengenakan kostum batik sebagaimana kehadirannya di acara resmi. Terkadang memakai safari necis, atau kemeja lengan panjang dan berdasi, yang tentu berharga mahal untuk menyapa masyarakat bawah. Penampilan semacam ini jelas merupakan penghalang bagi para kandidat (atau memang tak berkemauan ?) sebelum masuk lebih jauh hingga ke titik yang substansif. Bagaimana komunikasi dapat berlangsung apabila mereka telah menciptakan jarak psikologis dengan para calon pemilihnya?

Bukan hanya memunculkan jarak emosional, pemilihan kostum elite seperti ini bisa-bisa malah diartikan publik sebagai bentuk penghinaan secara kategoris terhadap lapisan sosial bawah. Kenapa seorang calon kepala daerah, misalnya, tidak mengenakan pakaian lengan panjang yang dilinting? Sebagai calon publik figur, soal pilihan kostum seperti ini tak bisa dipandang sebagai tampilan belaka. Di balik singsingan lengan baju itu terpancar makna simbolik, bahwa sang kandidat telah siap bajunya kotor terkena debu, bau amis, dan ikhlas berkeringat, sebagaimana kebanyakan warga sipil di pasar. Penampilan empati seperti ini, meski tidak mutlak, merupakan prakondisi yang diperlukan di dalam suatu komunikasi (politik) yang efektif.

Menyelami Masyarakat

Hal itu berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Presiden George W Bush saat ia tengah menuai kecaman keras masyarakat AS, bahkan dunia, akibat kebijakan invasi ke Irak tahun 2003. Sang Presiden mendatangi markas tentara dan mengajak para serdadu bernyanyi serta bertepuk tangan penuh riang. Di sana, Bush berorasi membangkitkan semangat nasionalisme.

Bagaimana dengan penampilan Bush?

Ia membuka kancing baju teratas, juga mengendurkan dasinya. Ia juga berkeliling menyapa serta menyalami para tentara dengan genggaman tangan yang mantap. Orang boleh saja tidak bersepakat soal kebijakan Gedung Putih tentang invasi Amerika terhadap Irak yang kontraversial itu, yang sarat dengan motif-motif tertentu yang tidak bisa diterima standar etika masyarakat internasional. Namun apa yang ditunjukkan Bush merupakan ekspresi yang diperlukan dan niscaya bagi keberadaan seorang pemimpin atau elite di ruang publik. Sebab ruang publik di dalam dinamika demokrasi sama pentingnya dengan rapat-rapat resmi dewan.

Kalau ditilik dari pemikiran Habermas tentang public sphere, kehadiran elite atau pemimpin di ruang publik mesti dilakukan untuk mencapai pembentukan opini dan kehendak (opinion and will formation) serta mewakili kepentingan umum.Meskipun tetap saja kunjungan itu bersifat resmi, sang pemimpin harus bisa menyelami situasi kejiwaan masyarakat, yang pada taraf tertentu bisa dianggap mewakili warga secara keseluruhan. Dari sana komunikasi politik bisa dilakukan dengan mulus. Banyak politisi di negeri ini tidak piawai memanfaatkan public sphere sebagai wahana komunikasi antara lembaga-lembaga politik dan akar rumput. Mereka telah sedemikian jauh memaknai politik sebagai who gets what and when, sehingga rakyat tak dianggap sebagai faktor penting. Bahkan, lebih sedih lagi, banyak elite yang ingin diidentifikasi publik sebagai kalangan atas atau berkelas ningrat. Maka, wajar apabila aspirasi rakyat selalu gagal dipahami banyak elite.(32)

–– Agung Y Achmad, editor, peminat bidang komunikasi politik, tinggal di Jakarta.

http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=12845

____________________________
* Ayah saya selalu mencomot dasinya setiap kali singgah dipasar/shopping centre dalam perjalanan pulang ke rumah, semasa bekerja di negara tetangga.
Kata beliau, "tidak bagus diliat orang".
Seorang Sufi memang berbeda dari orang kebanyakan, jauh dari barang-barang yang "wah atau exclusive".
Orang-orang bilang kepada saya,"Your father is a Great man". Dan beliau sendiri pernah bercerita kepada saya jika mereka (Ayah dan Ibu) datang ke KBRI seperti untuk melaksanakan acara keagamaan bersama dengan para elite dan professional dari Indonesia lainnya di bulan Ramadhan, orang-orang yang melihat langsung semua pada diam...
Saya juga pernah menyaksikannya sendiri, heran euy...

2 comments:

Anonymous said...

makasih atas apresiasi Bu Nani terhadap opini saya.. agungyus@yahoo.com

Anonymous said...

Pak Agung, artikelnya bagussssss.. sekali! Kasiankan kalau dibuang begitu saja setelah dibaca. Makanya saya simpan dikamar saya yang juga bisa diakses oleh publik lainnya, semoga kita semua mau mengambil manfaatnya.

Ditungggu artikel lainnya.

Salam manis,
Nani