1/31/2008

28*ACEH BEBAS GANJA DALAM 10 TAHUN

Hihi...
Orang Aceh pemakan ganja no.1 di dunia hihihihi....
Mereka biasanya mencampurkannya didalam kopi atau didalam gulai kambing. Pantesan aja kopi dan gulai Aceh ter-yummy di dunia :) yang makan pada mabok semua heheheh.... abis, nga tau mana yang enak mana yang enga!
***********************
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=41757&rubrik=1&kategori=7&topik=22

31/01/2008 09:21 WIB

BNN Targetkan 10 Tahun lagi Aceh Bebas Ganja
[ rubrik: Serambi topik: Ekonomi ]

BANDA ACEH - Aceh yang selama ini dikenal sebagai lumbung ganja nasional, 10 tahun ke depan diharapkan akan bebas dari tanaman haram tersebut. Demikian ditegaskan Direktur BNN, Made Mangku Pastika, pada acara kampanye kejahatan narkotika khususnya menyangkut tanaman ganja (cannabis sativa), yang berlangsung di Desa Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, Rabu (30/1) kemarin. Kampanye tersebut turut dihadiri Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Direktur Eksekutif United On Drugs and Crime (UNODC) Antonio Maria Costa, Duta Besar Thailand untuk Indonesia Akrasit Amatayakul, Ketua Komisi Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan Timor Leste Luis Lediguero, Sekretaris Yayasan Mae Fah Lung (MFLF) Mom Rajawongse Disnadda Diskul, Project Officer Alternatif Development (AD) Ahwil Lutan, Bupati Aceh Besar Bukhari Daud, dan undangan lainnya.
Menurut Direktur BNN Made Mangku Pastika, pemerintah melalui BNN Aceh menggalang kerjasama dengan UNODC untuk memerangi kejahatan narkotika, khususnya ganja yang banyak ditanam di Aceh. Upaya ini dilakukan dengan mangajak masyarakat untuk menggerakkan pembangunan alternatif (alternative development), seperti menanam sayuran dan tak lagi tergiur untuk menanam ganja, katanya.
Upaya tersebut, kata Made Mangku Pastika, akan dilakukan melalui program sustainable alternatif livelihood development (SALD) oleh Mae Fah Lung Foundation (MFLF), yaitu satu yayasan yang langsung berada di bawah pengawasan Raja Thailand Bhumipol Adulyadej. Sebelumnya, yayasan ini telah melakukan beberapa kegiatan awal guna membangun kepercayaan masyarakat setempat, meliputi program percontohan pemberantasan malaria dan program prostheses (pembuatan kaki palsu), ujarnya.
Dikatakannya, program tersebut pernah dilakukan yayasan itu dalam memberantas tanaman opium di kawasan segitiga emas di Thailand Utara dan baru berhasil membebaskan kawasan tersebut dari tanaman ilegal itu setelah 30 tahun kemudian. Kalau MFLF berhasil membebaskan Thailand Utara dari opium selama 30 tahun, maka Aceh saya targetkan, 10 ke depan sudah harus bebas dari tanaman ganja, katanya.
Masyarakat mandiri
Sementara itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam sambutannya pada acara yang sama mengungkapkan, program ini menekankan pada pelatihan masyarakat setempat agar mereka dapat mandiri, sesuai dengan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menjamin keberhasilan yang berkelanjutan. Program SALD yang sekarang kita laksanakan di Lamteuba ini, sudah masuk dalam blue print Bappenas, katanya.
Dikatakan, rombangan yang dibawanya ke Lamteuba itu bertujuan untuk membantu masyarakat setempat dalam meningkatkan pendapatan mereka, termasuk berupaya memberantas kejahatan narkotika dengan membantu produktivitas pertanian selain tanaman ganja. Jadi kita harus menerima mereka. Karena mereka melakukannya untuk kita semua, kata Gubernur.
Menurut Gubernur Irwandi, meski sebelumnya masyarakat di daerah tersebut banyak yang menanam ganja untuk meningkatkan pendapatan ekonominya. Namun, katanya, keuntungan menanam ganja hanya dinikmati oleh segelintir orang di luar Aceh. Tidak ada masyarakat penanam ganja yang diuntungkan, selain dari orang luar, tambah Irwandi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif UNODC Antonio Maria Costa, pada acara yang sama mengungkapkan rasa optimismenya bahwa jika semua program tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, Aceh akan bebas dari imej buruk sebutan sebagai lumbung ganja nasional. PBB tetap komit membantu membebaskan Aceh dari imej buruk tersebut. Karena itu, saya yakin, meskipun proyek ini kecil, namun ia mempunyai dampak positif yang besar, katanya.(yuh)

1/26/2008

27*TUGU MAIMUN SALEH

26/01/2008 10:25 WIB

Pesawat Tempur Hawk 200 Hiasi Tugu Maimun Saleh
[ rubrik: Serambi topik: Hankam ]

BANDA ACEH - Satu unit pesawat tempur Hawk 200 milik TNI Angkatan Udara (AU), dijadikan sebagai monumen sejarah di Aceh. Pesawat tempur itu, Jumat (25/1) kemarin dipasang di atas Tugu Maimun Saleh di Simpang Aneuk Galong––pinggiran jalan Banda Aceh-Medan––Kecamatan Montasik, Aceh Besar. Monumen itu dimaksudkan untuk mengenang penerbang pertama asal Aceh bernama Maimun Saleh.
Berdasarkan data yang dihimpun Serambi dari berbagai sumber, Maimun Saleh adalah putra Aceh yang lahir di Aneuk Galong, Montasik, Aceh Besar pada 14 Mei 1929. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Taman Siswa dan Sekolah Menengah Islam di Koetaradja.
Pada Agustus 1949, Maimun Saleh diterima menjadi murid penerbang di Koetaradja (Banda Aceh) dan pada tahun 1950 ia dipindahkan ke Sekolah Penerbang di Kalijati.
Pada 1 Februari 1951, ia berhasil memperoleh ijazah sebagai penerbang kelas 3. Kemudian ia masuk Squadron IV (Pengintai Darat) dan turut serta dalam semua operasi yang dijalankan oleh Squadron tersebut.
Pada hari Jumat, 1 Agustus 1952, Sersan Udara Maimun Saleh meniggal setelah pesawat intai Auster IV-R-80 yang dikemudikannya mengalami kecelakaan di Pangkalan Udara Semplak, Bogor. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 09.25 WIB.
Almarhum adalah seorang Penerbang Daerah Istimewa Atjeh, dan gugur pada usia yang sangat muda, 25 tahun. Jenazah Maimun Saleh dikebumikan pada 2 Agustus 1952 di desa kelahirannya.
Untuk mengenangnya, nama Maimun Saleh telah diabadikan untuk lapangan terbang Militer Lhoknga dan Detasemen AURI Banda Aceh (dahulu Koetaradja), pada 9 April 1954 oleh Angkatan Udara Republik Indonesia. Nama Maimun Saleh juga diabadikan menjadi nama Landasan Udara Sabang.
Proses peletakan
Prosesi peletakan pesawat tempur buatan Inggris tahun 1980-an di Tugu Maimun Saleh dilakukan oleh sejumlah personel Landasan Udara (Lanud) Sultan Iskandar Muda (SIM), dipimpin Danlanud SIM, Letkol Pnb Fachri Adamy. Prosesnya membutuhkan waktu tiga jam lebih. Sekitar pukul 17.30 WIB, pesawat tempur itu telah terpasang sempurna di atas tugu.
Danlanud SIM, Letkol Pnb Fachri Adamy yang ditemui Serambi di lokasi mengatakan, pesawat tempur tersebut dipersembahkan kepada masyarakat Aceh untuk dijadikan sebagai monumen sejarah. Gagasan itu sendiri, kata Fahcri, awalnya dicetus oleh putra Aceh Marsekal Udara Teuku Syahril, yang menjabat Komandan Operasi Angkatan Udara I.
“Kebetulan saya yang meneruskan di sini, maka maksud dan keinginan Teuku Syahril kita lanjutkan. Kita bekerjasama dengan Pemkab Aceh Besar dan pemerintah mendukung pembangunan monumen ini,” kata Fahcri didampingi Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud.
Ditambahkan, pemberian pesawat tempur itu sebagai bentuk terima kasih dan ikatan batin antara Angkatan Udara dengan masyarakat Aceh. Sebab, masyarakat Aceh yang pertama sekali membelikan pesawat terbang kepada negara ini, yaitu Seulawah. “Dulu kan masyarakat Aceh yang pertama beli pesawat untuk Indonesia,” ujarnya.
Pesawat yang dijadikan monumen itu, lanjut Danlanud SIM, adalah pesawat asli, bukan replika atau dibuat-buat. Termasuk juga empat amunisi yang terdapat di bagian sayap pesawat. “Hanya saja pada amunisi tersebut, detonator dan peluru ledaknya tidak dipasang lagi,” papar Fahcri Adamy.
Jet tempur tipe Hawk 200 ini, katanya lagi, dibawa ke Aceh pada tahun 2003 lalu, setelah pesawat tersebut mengalami kecelakaan saat melakukan penerbangan di Pekanbaru. Dalam kecelakaan itu mengakibatkan beberapa bagian pesawat retak, sehingga tidak bisa digunakan lagi untuk penerbangan.
“Secara fisik semuanya masih bagus, tapi tidak bisa terbang lagi karena retak,” kata Fahcri. “Aceh adalah satu-satunya yang menerima pesawat tempur untuk dijadikan monumen. Karena itu, masyarakat Aceh patut berbangga dengan pemberian ini,” sambungnya.
Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud mengatakan, saat ini monumen tersebut masih dalam pengerjaan. Diperkirakan, satu atau dua bulan ke depan pengerjaannya telah selesai dan akan diresmikan. “Mungkin dalam dua bulan ini, tapi tanggal peresmiannya belum kita pastikan,” kata Bukhari.(saf/*)


http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=41554&rubrik=1&kategori=2&topik=4

*IRC-International Rescue Committee*

http://www.theirc.org/

1/19/2008

26*BUNUH DIRI

Jumat, 18 januari 2008 18:10 WIB

Tragis. Gara-gara didera krisis harga kedelai yang terus membubung, seorang pedagang gorengan memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.

Harga mendera, nyawa bayarannya, demikian kredo yang, boleh jadi, dianut Slamet (45), pedagang gorengan yang bunuh diri itu.

Ia sehari-hari bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani, di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Sebagai seorang "persona", Slamet bunuh diri karena kebijakan soal kedelai yang dianggap absurd. Sedemikian absurd, sampai-sampai ia mengakhiri hidup.

Absurd, enam huruf yang melatarbelakangi dan mendorong pedagang gorengan untuk memberontak ("revolt").

Sebaliknya, seorang ibu pembuat tahu di Gunung Sulah, Bandar Lampung tampak terus menggoreng tahu sayur. Dengan mengenakan pakaian yang biasa digunakan sehari-hari, daster dan rambut yang diikat ke belakang, ia memegang alat penggorengan sambil terus membalik puluhan tahu dalam wajan yang berisi minyak goreng panas. Demikian foto yang dimuat oleh sebuah sebuah harian nasional pada Rabu (16/1).

Ibu itu tampil mewakili puluhan perajin tahu di sentra tahu Gunung Sulah atau Kampung Sawah Brebes, Bandar Lampung, yang kini dilanda kekhawatiran bahwa tahu yang mereka hasilkan tidak laku.

Tapi, mereka jelas terus melafalkan kata-kata bermakna; memberontak untuk mempertahankan hidup, dengan cinta.

Dia melakukan hal-hal yang terbilang "kecil" di mata warga perkotaan, untuk menyebut pekerjaan menggoreng tahu, namun jelas terekam dalam kamera. Meski begitu, dia melakukan pekerjaan dengan penuh cinta.

Ketika seorang ekonom di Jakarta berkata bahwa kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai menjadi 0 persen merupakan kebijakan absurd karena tidak mempunyai efek apa pun terhadap harga dan kelangkaan kedelai saat ini, justru seorang pekerja di industri kecil tempe Arema, Jalan Jakarta, Bandung, terus mengaduk kedelai yang dicampur ragi untuk terus memproduksi tempe.

Bagi pekerja di industri tempe itu, meski absurd, dia terus berusaha, dan dia ada karena Pencipta adalah oase cinta yang tidak terkira bagi mereka yang dahaga di tengah ziarah kehidupan yang melelahkan.

"Kasus ini menunjukkan adanya kebijakan kosong dalam hal ketahanan pangan, khususnya untuk kedelai yang menjadi bahan baku tempe sebagai makanan rakyat yang sudah mendarah daging," ujar Didik J Rachbini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN).

Menurut Didik, sistem produksi kedelai hancur karena kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas ini adalah kebijakan pembiaran, yang tidak memberi stimulasi terhadap petani untuk mendapat insentif keuntungan dalam berproduksi.

Singkatnya, kebijakan itu bernuansa pepesan kosong, atau kebijakan yang jauh dari aras cinta.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada wartawan setelah memimpin rapat terbatas dengan menteri dan jajaran eselon I Departemen Pertanian, Jumat (18/1) mengungkapkan, perlunya perajin tempe-tahu beradaptasi menghadapi kenaikan harga kedelai di pasar dunia.
Bagaimanapun, ujar Presiden, kenaikan harga kedelai sampai 100 persen dapat menimbulkan guncangan pada industri berbasis kedelai di Tanah Air.

Dalam mengatasi kenaikan harga kedelai di pasar dunia dalam jangka pendek pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan. Di antaranya menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen.

Namun, ditengah upaya pemerintah untuk mencintai rakyatnya di tengah lilitan krisis kedelai, para pedagang tempe di Pasar Kosambi, Bandung, terpaksa membuang sebagian dagangannya yang tidak laku. Mereka menempuh langkah "revolt".

Alasannya, sejak kenaikan harga kedelai, produsen justru mengurangi ukuran tempe meski tetap menjual dengan harga yang sama. Kondisi ini membuat dagangan tidak dilirik pembeli.

Semenjak kenaikan harga kedelai, menurut pedagang bernama Ade, penjualan menurun. Jika tidak terjual dalam waktu empat sampai dengan lima hari, maka barang dagangan itu terpaksa dibuang. "Percuma jika terus dipajang karena konsumen memilih tempe yang baru," katanya.

Aura cinta untuk lebih memilih hidup ketimbang mengakhiri hidup juga dimiliki oleh pedagang lainnya. Budi, penjual tempe dan tahu di Pasar Cihaurgeulis, Bandung, menyebutkan, meski tempe dan tahu sulit dijual, ia tetap bertahan. Jumlah pembeli pun terus berkurang.

Mengapa para pedagang tahu dan tempe itu justru melakukan hal-hal yang relatif kecil dengan cinta besar besar ketika menghadapi krisis kedelai?

Seorang tokoh spiritual yang dikenal sebagai guru perdamaian dan persaudaraan, Bunda Teresa dari Kalkuta pernah mengatakan, "Kita tidak bisa melakukan hal besar di Bumi ini. Kita hanya bisa melakukan hal kecil dengan cinta yang besar."

Suatu ketika seorang wartawan bertanya, "Apa yang bisa dilakukan seseorang untuk menjadi lebih bahagia?" Bunda Teresa menjawab, "Lakukan sesuatu yang menyenangkan untuk orang lain."

"Kamu akan melihat bahwa kalau kamu bersikap menyenangkan, maka dunia akan terlihat baik. Kalau kamu bersikap baik dan penuh perhatian, dunia akan mengembalikan kebaikan itu kepadamu," katanya.

Akan tetapi mengapa manusia kerapkali memilih absurditas - misalnya dengan jalan pintas bunuh diri - ketimbang mencintai hidup ini?

Filsuf Prancis Albert Camus dalam karyanya "The Myth of Sisyphus" mengajukan pertanyaan, apakah hidup yang dijalani manusia memang berharga untuk dihayati, bernilai untuk dirayakan?

Rutinitas atau kebiasaan hidup keseharian, dari bangun pagi, bekerja, makan, nonton teve, tidur, dan begitu seterusnya menyeret manusia kepada pertanyaan, untuk apa kehidupan yang serba rutin ini?

"Manusia telah kehilangan ingatan akan rumah yang telah hilang atau ketiadaan akan harapan kepada tanah air keabadian. Apa yang kita rindukan justru apa yang harus kita tolak," kata Camus.

Ketika menapaki 2008, publik ramai-ramai memproklamirkan resolusi hidup yang lebih optimistis ketimbang 2007. Absurditas terus mengintip dalam berbagai bencana alam dan penyakit, Camus pun menolak untuk berakrobat kemudian melakukan salto ke dalam agama.

"Manusia akan menjadikan agama semata-mata sebagai pembelaan diri (alibi) untuk melarikan diri dari kepahitan dan kegetiran hidup. Sekarang tinggal bagaimana manusia bersikap," kata Camus.

Menurut dia, konsekuensi dari penghayatan akan absurditas justru berontak (revolt). "Revolt artinya berkonfrontasi terus-menerus antara manusia dan kegelapannya. Dalam pemberontakan tidak ada pengharapan. Pemberontakan tidak memecahkan masalah mengenai hidup yang tanpa arti ini. Pemberontakan hanya membawa manusia kepada permenungan (kontemplasi) mengenai absurditas yang justru memberi kebebasan dan kebahagiaan."

Bebas dan bahagia untuk siapa? Bebas dan bahagia untuk diri sendiri, karena cinta mempromosikan diri kepada "aku" (promotion du toi), kata filsuf Prancis Maurice Nedoncelle.

"Mencintai berarti menghendaki penyempurnaan atas orang yang dicintai. Cinta itu memberi untuk menyempurnakan orang yang dicintainya. Cinta bahkan tidak akan membatasi diri kepada waktu-waktu tertentu. Cinta memiliki sikap mantap, tahan lama, dan merawat kesetiaan sepanjang waktu," katanya. (A.A Ariwibowo/ANT)


http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.18.18105699&channel=1&mn=20&idx=27

1/17/2008

25*SYEIKH N. AR-RANIRY

Syekh Nur Al-Din Al-Raniri
(Bag. 1)Oleh : Abd. Maqsith Ghazali/Abdul Hanif*)

Nama lengkapnya, Nur Al-Din Muhammad b. Ali b. Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M).


Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kernungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).

Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).Jejak-jejak Intelektual Al-RaniriAl-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.

Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt).

Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh.

Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).

Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan.

Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.


Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari.

Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.

(bersambung…)*) Intelektualisme Pesantren

Arsip Sudut Pandang
Sudut Pandang lainnya :
Wali Songo dan Siti Jenar (Bag. 4)
Wali Songo dan Siti Jenar (Bag. 3)
Wali Songo dan Siti Jenar (Bag. 2)
Wali Songo dan Siti Jenar (Bag. 1)
Syekh Nur Al-Din Al-Raniri (Bag. 5)




http://www.cybermq.com/index.php?topikutama/detail/3/240/topikutama-240.html

24*TASAWUF DAN KEBUDAYAAN

ISLAM DAN TRANSFORMASI BUDAYA INDONESIA (3)
Dr. Abdul Hadi W. Muthahhari

Tasawuf dan Kebudayaan

Dalam konteks dan transformasi budaya masyarakatnya yang berbeda-beda, abad ke-17 M merupakan periode paling penting dalam sejarah. Setelah surutnya peradaban Hindu Buddha, kini kita menyaksikan munculnya peradaban baru yang selain sangat berbeda dengan peradaban-peradaban sebelumnya, juga menjadi faktor yang sangat kuat dalam proses integrasi bangsa ini di kemudian hari. Peradaban ini membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas dan inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini didasarkan pula atas sendi-sendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga tidak mengherankan kelak apabila Gellner (1992:48) mengatakan, “Dari peradaban tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam), kelihatan hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang akan datang.”.
Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua tradisi yang saling melengkapi, terus dipertahankan dan dikembangkan, serta selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal dan kosmoplitannya di satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitasnya dalam menghadapi setiap tantangan budaya dan peradaban lain yang dihadapkan kepadanya.
Yang pertama, tradisi besar yang terkandung dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika syariat memuat ketentuan-ketentuan hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan membangun tatanan masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka tasawuf mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang dan aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil seperti tercermin dalam mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di telah benar-benar berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik. Dua tradisi ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan ortodoksi dan heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial dan anarki, hukum Tuhan dan adat istiadat bikinan manusia, kota dan desa (Gellner 1981:4-5).
Dialog dan ketegangan antara dua kecenderungan itu mewarnai perkembangan Islam yang berlanjut di kawasan Nusantara yang lain. Periode ini sangat penting bagi bangsa Nusantara karena sebuah peradaban dan kebudayaan baru sedang digodog berdasarkan sebuah agama universal. Peradaban baru ini akan menjadi satu-satunya pilihan bagi penduduk Nusantara, disebabkan keunggulannya dalam membangun tradisi literasi. Bagi Islam sendiri, fase ini merupakan tahap penyempurnaan pemahaman terhadap ajaran agama. Ini ditandai dengan para sufi sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, sebagai penulis yang kreatif dan produktif, terlibat dalam berbagai aspek kehidupan – sosial, politik, keagamaan, pendidikan, seni dan spiritualitas. Pendek kata sebagai agen-agen transformasi budaya dalam arti sebenarnya. Tasawuf yang mereka ajarkan, tidak seperti dituduhkan banyak sarjana, bukan tasawuf anti-sosial yang menegasikan dunia dan cenderung ke pasivisme. Tetapi tasawuf yang mengajarkan aktivisme, di samping `uzlah dan zuhud.
Datangnya tahapan ini didahului oleh dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: (1) Munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia; (2) Munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang begtu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada penggunaan bahasanya. Tidak kurang 1200 kata-kata dan ungkapan Arab diserap dan dijadikan perbendaharaan kata-kata Melayu yang serasi dalam syair-syairnya saja.
Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill Allah fi al-`ardh), sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di muka bumi’.
Berdasarkan anggapan ini penulis Taj al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang tidak adil tidak menimbulkan kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan walaupun tidak pula harus dihormati. Ini karena meeka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan. Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Didukung oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja lantas tidak dapat berbuat sewenang-wenang.
Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Khususnya di Aceh dan pusat-pusat penyebaran Islam lain di kepulauan Nusantara. Tampilnya para ulama atau ahli tasawuf dalam bidang penulisan karya ilmiah dan sastra ini meemperkuat peranan mereka dalam kehidupan intelektual atau keterpelajaran, di mana semangat kosmopolitan dan universal inheren di dalamnya. Sebutlah misalnya apa peranan yang dimainkan para ulama sufi yang juga penulis kitab keagamaan dan karya sastra yang prolifik seperti Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain.
Syamsudin al-Sumatrani (wafat 1630 M) adalah sufi dan guru kerohanian yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Ia menjadi mufti dan pendamping utama Sultan Iskandari Muda (1607-1636 M) dalam menjalankan pemerintahan. Ia juga penganjur paham Martabat Tujuh dalam tasawuf yang ajarannya tersebar luas dan berpengaruh besar di seluruh kepulauan Nusantara. Tasawuf yang diajarkan selain praktis juga bercorak filosofis. Kitab yang ditulisnya tidak kurang tiga puluh buah. Kitab-kitab karangannya antara lain ialah Mir`at al Mu`minin, Jawhar al-Haqa`iq dan Nur al-Daqa`iq.
Ulama terkemuka lain yang sangat berpengaruh di bidang intelektual dan keagamaan ialah Nuruddin al-Raniri. Dia berasal dari Rander, Gujarat. Dia belajar bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah, dan menjadi ulama istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Nuruddin adalah penulis kitab fiqih pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal antara lain Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), Sirat al-Mustaqim, Hill al-Zill, Jawhar al-`Ulum, Hujjat al-Siddiq, Tybian fi Ma`rifah al-Adyan, Syaif al-Qulub, Ma` al-Hayat dan lain-lain (Ahmad Daudy 1982). Karya-karya Nuruddin al-Raniri di bidang fiqih, tasawuf dan sejarah merupakan sumber rujukan para ulama Nusantara hingga abad ke-19 M.
Penulis besar lain yang muncul pada akhir abad ke-17 yang tidak kalah besar pengaruhnya di Nusantara ialah Abdul Rauf al-Singkili. Dia hidup pada masa pemerintahan Sultan Taj al-Alam (1641-1683 M). Karyanya yang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya tidak kurang dari 27 buah, di antaranya Syair Makrifat, Daqa`i al-Huruf, Mir`at al-Tullab dan Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslakul Mufridin. Seperti Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Kitab-kitabnya tentang tasawuf, ilmu syariah dan tafsir al-Qur’an dipelajari hingga masa yang akhir ini di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengajian-pengajian tariqat sufi, khususnya Tariqat Sattariyah yang pernah dipimpin olehnya sepulang dari Mekkah (T. Iskandar 1983).
Kitab-kitab yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di berbagai pusat penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Salinan dan terjemahan risalah tasawuf Hamzah Fansuri dijumpai dalam bahasa Jawa. Salah satu naskah yang dijumpai ialah koleksi Sultan Banten abad ke-17 M. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani dijadikan sumber rujukan utama penulis-penulis suluk di Jawa seperti Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita.
Buku Aceh lain yang besar pengaruhnya, tentu saja Taj al-Salatin. Naskah Melayunya saja masih disalin pada abad ke-19 M dan berbagai versi terjemahannya dalam bahasa Jawa dijumpai cukup banyak di Museum Sana Budaya Yogya dan Museum Radya Pustaka Solo. Terjemahan atau saduran yang terkenal dalam bahasa Jawa ialah karya Yasadipura I, pujangga kraton Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana III akhir abad ke-18 M, dengan judul Serat Tajussalatin. Pada abad ke-19 M, di Riau Penyengat, Raja Ali Haji menyusun kitab ketatanegaraan Tsamrat al-Muhimmah, yang merupakan perluasan dari kitab-kitab sejenis yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 dan 18 M.
Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung di kepulauan Melayu. . Tetapi di Jawa jalannya proses itu berbeda. Di sini proses islamisasi menempuh jalan dan menuju ke dua arah berbeda yang kerap menjadi sumber ketegangan. Yang pertama, di kawasan pesisir seperti Gresik, Tuban, Demak, Cirebon, Banten dan Madura yang sejak abad ke-15 dan 16 M telah menerima Islam dan menjalani tahapan yang relatif mirip dengan di dunia Melayu Di sini tariqat sufi berkembang pesat sebagai pendukung emporium dan imperium Islam, dan para ulama terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Penulisan risalah tasawuf atau suluk berkembang pesat, begitu pula penyaduran hikayat-hikayat Melayu Islam. Arahnya ialah terbentuknya tradisi integratif di mana Islam dijadikan sebagai bagian intrinsik dari kebudayaan masyarakat setempat. Suatu kecenderungan yang juga berlaku di kalangan suku-suku Melayu, Aceh, Gayo, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Bugis, Makassar, Banjar, Bima dan lain-lain.
Dalam tradisi integratif ini, secara konseptual Islam dijadikan sebagai landasan kultural. Komunitas etnik pendukungnya dalam mengenal dan memberi makna terhadap segala sesuatu bertolak dari ajaran Islam. Ini tercermin dalam struktur kekuasaan dan sistem pengaturan sosial mereka di mana ulama, cendikiawan dan saudagar kaya menempati strata yang tinggi, mendampingi elit bangsawan. Sedangkan adat istiadat, tatanan sosial dan bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah mapan diberi makna baru berdasarkan pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam.
Yang kedua, kawasan kraton baru dan sekitarnya di pedalaman yang baru menerima Islam pada abad ke-17 dan 18 M. Di sini adalah tradisi dialog yang ditempuh. Islam sebagai doktrin keagamaan dibedakan dengan Islam sebagai pandangan hidup. Budaya Islam tidak sepenuhnya dijadikan landasan kultural. Kalau di pesantren Islam diterima sebagai pandangan hidup di samping sebagai agama wahyu, di kraton Islam hanya diterima sebagai agama. Tetapi pandangan hidupnya didasarkan pada budaya yang telah lama berkembang sebelum datangnya Islam. Apabila dalam tradisi integratif cara berpikir dan adab yang tidak didasarkan pada Islam dipandang sebagai penyimpangan dan bentuk heterodoksi yang sukar diterima, dalam tradisi dialog hal-hal seperti itu dipandang sebagai kewajaran sejauh selaras dengan nilai-nilai budaya setempat yang telah dirumuskan secara jelas dalam karya-karya sastra yang ditulis di kraton.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemikiran dari ulama dan cendekiawan sufi terhadap kebudayaan, sangat banyak contoh bosa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan di sini. Dalam wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disemba’, ‘raja sebagai ilil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar al-Islam yang digunakan oleh raja-raja Nusantara untuk menyebut nama negerinya seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam, Brunei Dar al-Salam, dan lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka bumi. Gelar serupa digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung, Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai tambahan.
Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang demikian mempengaruhi pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’. Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan penulis kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat persinggahan sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau dunia ini tidak penting. Dunia menjadi penting karena di sini seseorang harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung halamannya dengan selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal ibadah.
Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur”gharib (asing) menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan dengan konteks dengan sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang dimulai dengan kedatangan para pedagang Arab dan . Pada waktu bersamaan ia menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh pemeluk agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang, semangat jihad, pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan diri. Hamzah Fansuri menerjemahkan kata-kata Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:

1
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib

2
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang

Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang yang menyadari bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi. Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Sejalan dengan pengertian ini Hamzah Fansuri mengemukakan contoh faqir sejati ialah Nabi Muhammad s.a. w. Kefakiran Rasulullah itu tiada tandingnya, tidak tamak walaupun makan, gemar beruzlat dan zuhud tanpa meninggalkan aktivitas sosial dan kemanusiaan. Walau hatinya terpaut hanya kepada Tuhan, Nabi aktif menjalankan tugasnya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia ( “Rasul Allah itulah yang tiada berlawan/Meninggalkan tha`am (tamak) sungguh pun makan/`Uzlat dan tunggal di dalam kawan/ Olehnya duduk waktu berjalan”)
Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan mendasari semangat sosialisme religius yang terpanjar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang intipatinya adalah keadilan sosial dan pemarataan kesejahteraan. Semangat ini mendasari kehidupan masyarakat Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa). Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak hanya membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh. Di lingkungan pedesaan para petani dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran, sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan kefakiran melahirkan semacam kolektivisme atau semangat gotong royong seperti pernah kita agungkan.
Tidak mengherankan jika sosialisme semacam ini yang dijadikan perjuangan Sarekat Islam (SI) – gerakan kebangsaan paling awal yang muncul di Indonesia dan didirikan pada tahun 1905. Partai Islam lain sesudah kemerdekaan yang memperjuangkan asas ini ialah Masyumi, sebagaimana tercermin dalam tulisan tokoh-tokohnya seperti MuhammadNatsir dan Syafrudin Prawiranagara. Ditelusuri ke belakang sejarahnya, apa yang diperjuangkan SI merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan keagamaan abad ke-19 M yang berjuang keras menentang penjajahan.
Pengertian spiritual dari sosialisme seperti dikemukakan tokoh-tokoh Islam itu, dalam hubungannya dengan makna dari konsep faqr atau dagang, sebenarnya tercermin juga dalam pernyataan Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, yang mengatakan “Kefakiran berarti tidak sesuatu pun dirasakan sebagai milikmu, atau jika memang kau memiliki kekayaan, jangan anggap itu milikmu. Ini sejalan dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an: Sedangkan mereka itu mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding kepentingan mereka sendiri, sekali pun mereka berada dalam kesuaran’” (Arberry 1976:118). Syekh Ruwaym mengatakan, “Ciri faqir sejati ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama dan kemanusiaan.” (Nicholson 1982:43).
Contoh lain ialah pertemuan Islam yang diwakili Tasawuf dengan Hinduisme di Sumatra pada abad ke-14 – 16 M yang diwakili oleh Tantrisme, khususnya sempalannya yang nyleneh Tantrisme Bhirawa. Sebuah hikayat Melayu abad ke-16 M, Hikayat Syah Mardan menyebutkan dengan eksplisit pertarungan antara dua bentuk mistisisme itu seraya melukiskan upacara korban tidak manusiawi yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Tantrisme Bhirawa itu di hutan-hutan Sumatra. Braginsky dalam bukunya Hamzah Fansuri memaparkan kembali cerita itu untuk menjelaskan peranan ahli tasawuf dalam penyebaran Islam.
Tantrisme Bhirawa disebarkan oleh Adityawarwan, penguasa Majapahit di kepulauan Melayu pada abad ke-14 M, merupakan aliran sinkretik yang mencoba mencampur dan memadukan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan Buddha. Dalam perkembangannya aliran ini pecah lagi menjadi aliran-aliran yang lebih kecil, mulai dari yang moderat hingga yang ekstrim. Menurut paham Tantrisme, tujuan utama dari kehidupan manusia ialah kelepasan atau pembebasan (moksha) dari saamsara dan kungkungan alam maya. Jika hal itu dicapai maka tercapailah persatuan mistis dengan Yang Mutlak dan Transenden, dan ini memberikan kenikmatan tertinggi.
Dalam aliran Syiwa, Yang Mutlak disebut Paramasyiwa. Dalam aliran Buddhis, Yang Mutlak disebut Paramasunya. Yang Niskala (abstrak) itu diterangkan melalui istilah-istilah yang negatif seperti ‘yang tidak terlahirkan’.’yang tidak terbandingkan’, ‘yang tidak bersifat’, ‘yang tidak berawal dan berakhir’ dan seterusnya. Sering juga istilah positif digunakan seperti ‘yang abadi’, ‘yang sempurna’, ‘yang halus’ (suksma sejati). Penampilan immanent absolute yang paling umum diterima dalam Tantrisme di Sumatera dan Jawa ialah dalam bentuk Cahaya-Nya dan juga dalam kombinasi bunyi dan suku kata Om yang merupakan manifestasinya ddan sekaligus ‘benih dewa’.
Pembebasan dapat dilakukan dengan penyatuan diri dengan Yang Mutlak melalui samadhi dan meditasi, atau kadang-kadang melalui ‘lima jalan kenikmatan’, yaitu pelanggaran terhadap lima pantangan bagi seorang yang melaksanakan samadhi. Lima pantang itu ialah makan daging, minum anggur, bersanggama, dan lain-lain, dan juga melalui yoga. Penganut tantrisme di Jawa dan Sumatra jarang mengamalkan yoga klasik yang kompleks, tetapi bentuk yoga yang telah lebih disederhanakan. Sistem ini didasarkan atas kesamaaan antara makrokosmos (dewa yang menyatakan diri dalam segenap tatanan alam) dan mikrokosmos (yaitu si penyembah dan penuntut yoga). Tanda-tanda datangnya pembebasan dijumpai pada saat ekstase.
Persatuan mistik yang dicapai melalui samadi dan meditasi sempurna apabila seorang yogin telah sarat dengan gambaran tentang dewa yang dpiuja sehingga yang lain lenyap dari pikirannya. Dia tidak lagi menyadari keberadaan dirinya dan tenggelam dalam kenikmatan ekstase. Tantrisme pecah ke dalam aliran, yang masing-masing mengembangkan jenis meditasi dan cara mencapai ekstase. Pada abad ke-13 dan 14, kepelbagaian aliran tersebut melahirkan bentuk-bentuk yang demonik dalam peribadatan. Mialnya seperti nampak dalam upacara aliran Bhirawa (artinya seram dan mengerikan), khususnya dalam praktek penyembahan Dewa Heruka yang dahsyat dan mengerikan.
Di Sumatra upacara dilakukan di Candi Padang Lawas, 100 km dari Barus, kota pelabuhan di pantai barat Sumatra (dekat Sibolga) yang pada abad ke-13 dan 14 M merupakan pusat kegiatan sufi dan penyebaran agama Islam. Di sinilah Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi terkemuka abad ke-16 – 17 M, dilahirkan dan dibesarkan. Pemujaan terhadap Heruka dalam Tantrisme Bhirawa biasa dilakukan pada malam hari di tempat pembakaran mayat. Mayat yang dibakar dijadikan sajian sebagai persembahan kepada dewa mereka. Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang menimbulkan ekstase. Semakin memualkan bau dagng terbakar, semakin memberi kenikmatan. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan samsara.
Mayat yang dikorbankan diletakkan di tempat pemujaan dengan telentang, kaki dilipat di bawah paha, tangan terikat dan kepala didongakkan. Dengan demikian isi perut mudah dikeluarkan. Pendeta membelah perut hingga ke rusuk bawah, lalu duduk di atasnya, merenggut jantung keluar dan memenuhi tengkorak manusia dengan darah. Beberapa teguk darah diminum dan dibayangkan sebagai anggur sorgawi yang lezat. Setelah itu api unggun dinyalakan dan para penuntut aliran ini tenggelam dalam meditasi. Selama meditasi berlangsung, Heruka terbayang melalui kepulan asap. Ekstase dicapai saat tengah malam tiba. Pada saat demikian, mereka menari-nari mengitari api unggun dengan kentongan yang dibuat dari tulang belulang manusia, sambil tertawa terbahak-bahak. Makin malam, dewa Heruka akan makin senang memperoleh sesembahan dan korban seperti itu. Upacara berakhir dengan persetubuhan massal.
Setelah membaca penggambaran upacara korban manusia dalam Hikayat Syekh Mardan, R. O. Windstedt (1961) mengatakan, jika demikian halnya maka tepatlah apabila Islam yang mampu menggantikan pengaruh agama ini. Alasan Windstedt karena di dalam Islam terdapat ajaran mengenai hakikat wujud Tuhan yang lebih murni. Lagi pula tidak seperti Tantirsme yang mengajarkan agama untuk kasta Brahmana dan Kesatria saja, Islam mengalamatkan ajarannya untuk semua lapisan dan golongan masyarakat. Yang dimaksud Windstedt adalah tasawuf. Kesimpulannya diperoleh setelah dia membaca Hiokayat Syah Mardan sebuah alegori sufi Melayu yang popular, yang di dalamnya adegan kurban mayat manusia dipaparkan dan juga diperangi oleh para sufi.
Dari segi pokok ajarannya, tasawuf memperlihatkan beberapa persamaan dengan Tantrisme. Misalnya doktrin tentang anggur dan cinta ilahi, simbolisme laut, tetapi bukan lautan darah. Selain itu dalam tasawuf tidak ada adegan syahwat dan ekstase dii kuburan dengan mengorbankan nyawa manusia. Anggurnya bukan darah., tetapi lantunan zikir yang juga mampu mendatangkan ekstase mistik. Kritik terhadap praktek meditasi Tantrisme itu juga dijumpai dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Dia berjuang dengan gigih untuk mengubah praktek tersebut dengan metode yang lebih manusiawi bukan dengan penyiksaan secara ragawi.

Syariah dan Aktivisme Islam
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam.
Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-16 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin al-Raniri.
Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah yang diajarkan Ibn `Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin ajaran heterodoks. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistic dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.
Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih yang merupakan rincian syariah lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan ssial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan.
Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil Ma`rifat Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.
Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam keamanan dan ketertiban, serta dalam menjalankan kegiatan perdagangan. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifa`i Tegal, Abdul Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.
Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kanun Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Di situ dikatakan misalnya bahwa “Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w; atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya disebutkan dalam kanun tersewbut: “Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian 2005).
Pesantren-pesantren yang biasanya berada di pedesaan dan pedalaman menyambut baik disebabkan munculnya banyak penyimpangan terhadap ajaran agama, disebabkan penafsiran yang keliru terhadap pokok-pokok ajaran tasawuf. Khususnya yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Munculnya banyak gerakan heterodoks dan pembangkangan terhadap agama di berbagai daerah sangat menghambat sosialisasi ajaran Islam dan mengganggu perkembangan pesantren. Ketika itu pesantren, atau dayah di Aceh dan surau di Minangkabau, telah tumbuh sebagai lembaga pendidikan supra-desa. Murid-murid dan para pengajarnya tidak hanya berasal dari tempat di mana pesantren itu berada, tetapi juga dari berbagai pelosok Nusantara. Mau tak mau bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar, selain bahasa Arab. Dengan memanfaatkan jaringan intelektual yang dibina oleh pesantren-pesantren ini, gagasan keagamaan ulama ortodoks tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara.
Tariqat-tariqat sufi tertentu, khususnya Tariqat Sattariyah yang di kepulauan Melayu dinisbahkan kepada Abdul Rauf Singkel sebagai pendirinya, terjadi pula pembaruan. Disusul kemudian oleh tariqat-tariqat lain seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Tijaniyah. Dimulai di Aceh sendiri melebar ke Minangkabau dan ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi seperti kepulauan Melayu, Semenanjung Malaya, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara Barat dan Maluku. Ketegangan dengan kaum heterodoks dan kaum adat pun tidak bisa dihindari di berbagai tempat. Benturan paling sengit terjadi misalnya di Minangkabau dan Jawa Tengah. Di Jawa sebenarnya telah terjadi semenjak abad ke-17 M, tidak lama setelah gerakan ortodoksi mulai ditiupkan oleh Nuruddin al-Raniri.
Tetapi aktivisme Islam, dan kekuatannya sebagai faktor penjalin integrasi etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda itu, menampakkan wajahnya yang jelas setelah terjadinya konfrontasi dengan kolonialisme Belanda. Ini dimulai sejak pertengahan abad ke-17 M dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646 M), Perang Makassar (1660-1669 M), Perang Trunojoyo (1675-1679 M) di Jawa, Perang Banten (1680 – 1682 M), dan terutama dalam perang anti-kolonial sejak akhir abad ke-18 M ketika VOC bangkrut dan menyerahkan wilayah yang dikuasainya di Nusantara kepada pemerintah Hindia Belanda. Yang paling sengit dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak Belanda di antaranya berturut-turut ialah Perang Cirebon (1802-1806 M), Perang Palembang (1812-1816 M), Perang Paderi (1821-1838 M) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830 M) di Jawa, Perang Banjarmasin (1859-1862 M) dan Perang Aceh (1872-1908 M). Semua aksi bersenjata melawan kolonialisme ini digerakkan oleh raja-raja atau pangeran pesisir, ulama dan pemimpin tariqat beserta santri-santri mereka.
Perang Ternate dimulai dari Hitu dan Ternate sebagai protes terhadap monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC. Pemimpin perang itu ialah Kapitan Hitu Himese Muslim Kaluali, murid Sunan Giri. Perang dimenangkan VOC, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Tetapi agama Islam justru semakin tersebar di kepulauan Maluku. Perang Trunojoyo pada mulanya adalah pembrontakan terhadap penguasa Mataram yang menindas kaum ulama, Amangkurat I. Campur tangan VOC membuat perang semakin berkobar dan meluas di sepanjang pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah. Trunojoyo, pangeran dari Madura yang memimpin pembrontakan itu adalah murid Pangeran Giri dari siapa ia mendapat dukungan. Dukungan juga diperoleh dari Kraeng Galesong dan pelaut-pelaut Bugis, serta para ulama di Jawa dan murid-murid mereka. Dimensi perang ini lantas tidak hanya berskala lokal, tetapi melibatkan tiga etnis besar – Madura, Jawa dan Bugis.
Perang Banten melawan VOC pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa juga demkikian. Perang ini didukung penuh oleh Syekh Yusuf Makassar, murid Syekh Abdul Rauf Singkel dari Aceh. Sebelum belajar di Aceh, Syekh Yusuf belajar agama di Banten dan sepulangnya dari Mekkah dia mengajar di Banten. Kemenangan VOC dalam perang itu menyebabkan Syekh Yusuf Makssar dibuang ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya. Di sana ia mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Masih di wilayah Banten, serangkaian pembrontakan petani sepanjang abad ke-18 dan 19 M sebagaimana di daerah lain di pulau Jawa dan Madura, selalu berada di bawah panji-panji Islam. Misalnya pembrontakan petani di Cilegon pada 1888 M. Kerangka organisasi gerakan ini disusun oleh anggota-anggota Tariqat Qadiriyah.
Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa, juga melibatkan kaum santri. Sebagian besar pasukan tentara Diponegoro adalah ulama, ustadz, dan santri-santri dari berbagai pesantren. Pemimpin spiritual dari perang ini ialah Kiyai Maja, mursyid Tariqat Naqsabandiyah di mana Pangeran Diponegoro menjadi anggotanya. Ini yang menyebabkan mereka dihormati oleh rakyat dan mendapat dukungan luas dari segenap ulama di pulau Jawa. Diponegoro sendiri mengambil nama salah seorang Sultan Turki Usmani, yaitu Abdul Hamid, sebagai gelar bagi dirinya. Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dan dibuang mula-mula ke Menado, kemudian Makassar. Perang ini menyebabkan agama Islam lebih pesat lagi berkembang di pedalaman Jawa.
Perang Paderi di Sumatra Barat berakar dalam konflik kaum adat dan pembaru Tariqat Sattariyah. Pada akhir abad ke-18 M Tuanku Nan Tua dari Agam melakukan pembaruan dalam tubuh Tariqat Sattariyah. Gerakan yang dilancarkannya itu menimbulkan benturan panjang dengan kaum adat. Beberapa murid Tuanku Nan Tua seperti Tuanku nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol menerima ide pemurnian agama dari Wahabisme. Lahirlah gerakan Paderi. Ketegangan kian meningkat dan pada tahun 1821 pecahlah perang antara kaum Paderi dan kaum Adat. Dalam perkermbangannya, perang ini akhirnya mengundang campur tangan Belanda, karena kepentingannya atas tanah perkebunan yang dikelolanya.. Meskipun gerakan Paderi dapat ditundukkan oleh Belanda, namun pengaruhnya tidak berakhir dengan berhentinya peperangan. Ide-ide gerakan ini malahan tersebar luas merasuki seluruh jalinan sosial masyarakat Minangkabau. Dampak jangka panjangnya terasa di kepulauan Melayu. Gerakan Paderi membuka jalan bagi lahirnya gerakan pembaruan pada akhir abad ke-19 M.
Perang Aceh adalah perang paling lama. Perang ini diorganisir oleh para ulama, setelah seruan fatwa jihad dari Syekh Abdul Samad al-Falimbangi. Dengan demikian perang ini memiliki dimensi supra-lokal di samping dimensi keagamaan. Fakta-fakta sejarah seperti inilah yang membuat banyak sarjana seperti Rolf, Benda dan Jansen berpendapat bahwa hadirnya penjajahan Belanda bersama misi Kristennya selama tiga abad di Nusantara membuat kebangkitan Islam semakin liat dan kental. Malahan dapat dikatakan Islam justru berkembang pesat pada masa kolonial. Ini disebabkan tiadanya kekuatan lain yang berpotensi menentang hadirnya kolonialisme. Agama Kristen datang dibawa oleh misionaris dengan dukungan kolonial. Masuk Kristen sama dengan membela penjajah. Identifikasi Islam dengan gerakan anti-kolonial menjadi wahana efektif bagi kian intensifnya perkembangan agama ini, sekaligus menjadi faktor penentu integrasi bangsa di kemudian hari.
Oleh karena itu menarik juga pernyataan Jansen (1993). “Dapatkah gerakan Asia-Afrika muncul tanpa Islam? Gerakan-gerakan nasional yang mengakhiri riwayat imperialisme sejak tahun 1945 di Asia dan Afrika mungkin tampak sekular, tetapi nasionalisme sekular datang terlambat karena 150 tahun sebelumnya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan-kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim.” Demikianlah Islam sesungguhnya telah melahirkan sebuah proto-nasionalisme yang unik yang memberi corak khusus kepada nasionalisme yang berkembang di luar negara Barat. Nasionalisme di Eropa sejak digagaskan oleh Rosseau pada awal abad ke-19 merupakan perluasan dari chauvinisme yang telah tumbuh di Eropa, dan kemudian tampil di pentas sejarah sebagai penopang kapitalisme dan imperialisme. Kolonialisme adalah bentuk penguasaan dan penindasan atas bangsa lain oleh suatu bangsa yang merasa menjunjung tinggi kebangsaan dan hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Nasionalisme seperti yang digagaskan oleh tokoh awal gerakan kebangsaan seperti Sukarno dan Hatta berbeda dan bahkan bertentangan dengan nasionalisme sekular yang diagungkan Barat. Ciri nasionalisme yang tumbuh dari penjajahan ini ialah: (1) Di bidang politik melenyapkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikan dengan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat; (2) Di bidang sosio-ekonomi mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh bangsa asing dan membangun masyarakat yang adil dan makmur; (3) Di bidang budaya membangkitkan identitas bangsa dan menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. (Ruslan Abdulgani 1995).
Nasionalisme seperti ini mendapat coraknya dari perjuangan Islam menentang penjajahan selama lebih 300 tahun.
Kenapa Islam begitu gigih menentang kolonialisme? Jika kita rumuskan pendapat beberapa sejarawan maka jawabnya ialah: (1) Watak ajaran Islam itu sendiri yang tidak membedakan kegiatan agama dan politik. Ini jelas memberi dasar keyakinan yang kuat dan efektif dalam menentang kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan; (2) Sebelum munculnya gerakan anti-kolonial yang diorganisir oleh orang Islam tidak ada bentuk nasionalisme yang mampu menjadi penggerak besar gerakan-gerakan kebangssaan. Islam berpotensi karena memiliki struktur-struktur tradisional yang diperlukan seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majlis taklim dan pengajian-pengajian, gerakan pemuda (futuwwa), organisasi dagang, tariqat sufi – yang semuanya itu melengkapi struktur perjuangannya secara terorganisir; (3) Islam melalui ulama dan pemimpin tariqatnya menyediakan kader-kader pemimpin yang terdidik dan memahami benar-benar ajaran agama.
Struktur-struktur yang diperlukan untuk melawan kolonialisme itu tidak dipunyai penguasa, elit, terpelajar sekular dan tuan tanah sekular yang biasanya berada di pihak penguasa asing. Tetapi para ulama dekat dengan rakyat. Ferdinand de Lessep, pembangun Terusan Suez, mungkin benar ketika berkata “Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum Muslimin menentang penjajahan, tetapi agama dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang mampu mempersatukan perjuangan mereka.”


http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=187

23*FILSAFAT IBNU SINA

FILSAFAT IBNU SINA
Ditulis pada Nopember 29, 2007 oleh abahsyauqiy

I. PENDAHULUAN


Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad[1][1]. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam[2][2]. II. BIOGRAFI Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman[3][3].Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya[4][4]. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi [5][5]Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit[6][6].Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[7][7].Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu[8][8] .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[9][9] Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh[10][10].Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya[11][11].Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. [12][12]Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :1. 1. As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :1.1 1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.1.2 1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).1.3 1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.1.4 1.4 Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.2. 2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.3. 3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).4. 4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.5. 5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.6. 6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.7. 7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.8. 8. Danesh Nameh. Buku filsafat.9. 9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.10. 10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.11. 11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).12. 12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.13. 13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.14. 14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.15. 15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)16. 16. dan sebagainya[13][13]Dari autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :1. 1. Mengagumi dirinya sendiriKekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.2. 2. Mandiri dalam pemikiranSifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.3. 3. Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.4. 4. Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya” 5. 5. Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila dihormati.6. 6. Cepat melahirkan karanganIbnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.[14][14]Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof)[15][15].Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. III. III. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SinaA. A. Filsafat JiwaIbnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika. Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern[16][16].Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot[17][17].Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi[18][18].Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada[19][19]. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya[20][20]Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[21][21]Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :1. 1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.2. 2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa[22][22].Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :1. 1. Jiwa tumbuh - tumbuhan ( ) dengan daya - daya :- - Makan ( nutrition)- - Tumbuh ( growth)- - Berkembang biak ( reproduction)2. 2. Jiwa binatang ( ) dengan daya - daya :- - Gerak ( locomotion)- - Menangkap ( perception) dengan dua bagian :* * Menagkap dari luar dengan panca indera* * Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam. - - Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera- - Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama- - Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi- - Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.- - Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi. 3. 3. Jiwa manusia ( ) dengan daya - daya :- - Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :a. a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.b. b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.c. c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.d. d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya[23][23].Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir[24][24]. Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs­ atau jiwanya[25][25]. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[26][26]Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah) dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak[27][27].Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok[28][28] :1. 1. Filosof – filosof materialistik (dahriyyun)Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.2. 2. Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.3. 3. Filosof – filosof teis (ilahiyyun).Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya. Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :a. a. Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.b. b. Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.c. c. Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal – hal yang kecil - kecil[29][29].Kedua, bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan[30][30].Ketiga, bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan jasadnya[31][31]Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :1. 1. Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).2. 2. Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.3. 3. Dalil kelangsungan (kontinuitas).4. 4. Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara[32][32] Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :1. 1. Dalil Alam KejiwaanPada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).Gerak ada dua macam yaitu :1) 1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.2) 2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :a. a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.b. b. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.[33][33]2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[34][34]3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.[35][35]4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.[36][36] B. B. Filsafat Wujud.Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :1. 1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ ( ) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( - impossible being).2. 2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin ( ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.3. 3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud ( ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud[37][37].Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[38][38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman[39][39].Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan[40][40].Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan. C. Falsafat Wahyu dan NabiPentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi[41][41].Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.[42][42] III. III. PENUTUP¨ ¨ Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.¨ ¨ Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.¨ ¨ Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). ¨ ¨ Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. DAFTA PUSTAKA Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967____________, Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964____________, Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jund, 1968____________, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba’ah al-Qahirah, 1903Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986_____________, Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984 Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985 Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996_____________, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992 Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949
Ibnu Sina
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Awal Kehidupan
2 Karya Ibnu Sina
3 Lihat pula
4 Pranala Luar
//Awal Kehidupan
Kehidupannyan dikenal lewat sumber - sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibn Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah - masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode - metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai.” Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh - musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awalnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat - bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
[sunting] Karya Ibnu Sina
Qanun fi Thib (Canon of Medicine)(Terjemahan bebas:Aturan Pengobatan)
Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
An Najat

End Notes:
[1][1] M.M. Syarif, MA, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan) 1994, hal. 101, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, 1984, hal. 63
[2][2] Ibid
[3][3] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[4][4] Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
[5][5] H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949, hal. 49
[6][6] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[7][7] Ibid
[8][8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal. 34
[9][9] Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya : PT. Bina Ilmu), 1985, hal. 332 - 333
[10][10] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 112 - 113
[11][11] Ibid
[12][12] Nasir Masruwah, taufik Falsafah Al-Islamiyah, hal. 119
[13][13] Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 - 39
[14][14] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : Al-Amin Press). 1997, hal. 47 - 51
[15][15] Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51
[16][16] Ahmad Hanafi, Pengantar …, hal. 125 - 126
[17][17] Ibid.
[18][18] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta : Mizan), hlm. 44
[19][19] Al-farabi, Al-Da’awi al-Qalbiyyah, (Haidarabad : Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1349 H), hlm. 3-4
[20][20] Lihat bukunya, Al-Farabi, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1962) hlm. 41
[21][21] Harun Nasution, Falsafat … Opcit., hal 34-35
[22][22] Ibid.
[23][23] Ibid., hal. 36 - 37
[24][24] Harun Nasution, Falsafat …, Opcit., hal. 37 - 38
[25][25] Al-Ghazali, Ma’rij al-Quds fi Madarij Ma’rofah al-Nafs, (Kairo : Maktabah Al-Jund, 1968), hlm. 19.
[26][26] Al-Ghazali, Madarij Al-salikin, (Kairo : Tsaqofa al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
[27][27] Al-Ghazali, Madarij Al-Salikin, (Kairo : Tsaqofah al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
[28][28] Lihat al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, wa al-muwasshil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, di tahqiq oleh Dr. Jamil Shaliba dan Dr. Kamil ‘Iyad, Dar al-Andalus (Lebanon, Beirut, 1967), cet. VI, hlm. 76 - 77
[29][29] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo, Mesir, Matba’ah al-Qahirah, 1903), hlm 6
[30][30] Ibid., hlm. 53
[31][31] Ibid., hlm. 81
[32][32] Ahmad Hanafi, Pengantar …, Opcit., hal. 126
[33][33] Ibid., hlm. 126 - 127
[34][34] Ibid., hlm 127
[35][35] Ibid., hlm. 128 - 129
[36][36] Ibid., hlm. 129
[37][37] Harun Nasution, falsafat …, Opcit., hal. 39-40
[38][38] Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula Bintang), 1984, hal. 42
[39][39] Ibid.
[40][40] Ibid, hal. 44 - 46
[41][41] Harun Nasution, Falsafat… op. cit. , hlm. 115
[42][42] MM. Syarif, op. cit, hlm. 131


http://abahsyauqiy.wordpress.com/2007/11/29/filsafat-ibnu-sina/