Dear Pembaca yang di Rahmati-Nya, Salam manis, N
(Dirahmati dengan hati dan pikiran yang bersih dan jernih tentunya jauh lebih baik, bukan?).
Maaf banyak-banyak kalau saya tidak membalas sinyal-sinyal yang terkirim dan bertebaran diberbagai tempat atau sayanya yang GR-an, ada yang terbaca dan ada juga yang tidak, berhubung sedang ada hal lainnya yang sedang diurus (yang jelas bukan sedang menggoreng big fish-ikan asin Hering yang goblok dan geblek itu!). Apalagi selama ini buka internetnya hanya sekilas untuk melihat berita utama dari situs tertentu saja kalau ada yang menarik dibaca kalau tidak ya... tinggalkan. Kelas baru yang pernah saya sebutkan sebelumnya juga telah lama saya tinggalkan, ngeri... kok masih ada ya orang yang seperti di tengah rimba Afrika sana?
Merujuk tulisan saya dalam Inovasi berkomunikasi, makian yang yang ditujukan kepada saya mengingatkan saya kepada sistem legal orang primitif di benua Afrika. Kalau halaman anak sukunya dilangkahi, semua orang sekampung marah dan datang sambil membawa parang. Apa salahnya saya bersiar-siar atau membagi pengalaman sosial sehari-hari dikolom ini? Kalau ada anak sukunya nyeleneh kesana-sini dihalalkan. Bukankah lebih baik membina anak suku tersebut agar tidak berlebihan. Berlebihan inilah sebenarnya yang menjadi alasan kenapa ada WNI kok enggan bergaul dengan sesamanya di LN, atau kok ada pegawai KBRI ketus dengan rakyatnya sendiri...
Belajarlah dari anak-anak suku lainnya yang bertebaran di belasan ribu pulau di seluruh Indonesia. Banyak dari mereka yang bersiar-siar atau menetap di LN bersama suami WNA mereka tapi mereka lebih ....
(Jangan-jangan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi yang mayatnya dimasukkan ke dalam kopor, ditujukan untuk saya?).
Baru-baru ini saya sempatkan diri bersiar-siar di Gunung Troodos yang ditutupi salju. Sebelumnya, sempat juga saya singgah disebuah perkampungan di anak kaki pegunungan yang sejuk dan tenang. Menikmati pemandangan alam dan keindahan ciptaan Tuhan. Duduk sebentar dengan seorang nenek dan membagi potongan cake yang saya bawa sebagai snack, oh.... senang sekali rasanya ketika si nenek menerimanya.
Khusus buat Ibu bermandila biru di pulau XX, saya juga setuju. Bahkan ada orang yang ber-ilmupun enggan menulis atau membagi ilmunya kepada generasi muda, bahkan yang ditulispun masuk ke kategori yang tidak perlu ditulispun ditulis, kata orang bijaksana.
Kita liat saja bagaimana generasi muda sekarang... bahkan seorang pengusaha, ekonom, pejabatpun... dilarang punya anak.
Kepada Bapak XXX juga setuju mengenai pentingnya philosophy kembali diajarkan kepada generasi baru. Disamping agar generasi baru mampu berfikir lebih dalam lagi juga mampu mengalisa psikologi diri. Jangan-jangan kita ini seorang Psychopath (jelasnya silahkan cari di google). Psycopath yang suka menzalimi orang lain, tidak memiliki empathy, tidak merasa bersalah, dll.
Entah kebetulan atau tidak, seorang kenalan menawarkan saya DVD American Psycho 2, diperankan oleh seorang nona manis dan digarap cukup menarik. Sayangnya, saya tidak sempat menontonnya kecuali secuil. Diceritakan mengenai awal perkembangan kepribadian sang nona manis tersebut yang kacau dikarenakan masa kecilnya yang tidak bahagia.
Sekali lagi kepada Bapak, Ibu, nona manis, oom ganteng dan semua yang lainnya (termasuk pemerintah atas perhatiannya belakangan ini) Terima kasih, Merci, Danke, etc.
Khusus kepada pemerintah, sudah saatnya TNI/militer dan sejenisnya yang ada di Aceh saat ini diganti dengan yang dari pulau-pulau lainnya. Bukankah Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau?
Kekacauan selama ini yang masih berlangsung disana tidak jauh dari tangan-tangan mereka. Ingat peristiwa kekacauan di Lhokseumawe pada saat penarikan pasukan tersebut pada tahun 1999 (mereka sebenarnya enggan pergi dari sana), seorang kenalan saya pernah ditipkan sebuah bungkusan oleh seorang TNI yang ternyata berisi 3 butir granat. Sejak itu, si kenalan tersebut keluar dari keanggotaan TNI. Motif sebenarnya dia bergabung dengan TNI karena filosofi TNI yang mengagumkan, bukan karena hal lainnya.
Pungutan liar yang terjadi pada sebuah pelabuhan setempat di bulan Ramadhan yang lalu mengingatkan saya pada pungutan liar yang marak terjadi pada era Orba. Saya sendiri pernah dizalimi ketika seorang pensiunan TNI non lokal menabrak kenderaan saya dari belakang. Polisinya yang saya lapori (non lokal) tersebut justru menahan STNK kenderaan saya. Ketika STNK tersebut saya minta, wah... saya dibentaknya karena tidak memberinya duit. Mana saya tahu kalau saya diwajibkan menebusnya. Pun saya tidak diperbolehkan mengklaim asuransi kenderaan tersebut seperti halnya paket pos saya yang hilang dulu tetapi enggan diganti oleh pos Indonesia. Ah... ada satu contoh lain tapi enggan saya tulis. Bosan...
Belum lagi mengingat bagaimana kejinya mereka selama masa-masa konflik. Saat sweeping dirumah-rumah penduduk, seluruh harta rakyat dan kerabat kami yang miskinpun habis dikuras.
***********************
Selingan:
Halaman (taman) sebuah Kantor, Summer 2008